2
Dia anakku
Hari demi hari, tahun demi tahun, hingga
sepuluh tahun berlalu. Setelah kejadian itu mereka tetap
mencari. Namun tidak ada kabar tentang keberadaan anak mereka. Suatu malam di tempat tidur Bu Rosa dan
Pak Adam. “Pah hari ini ulang tahun anak kita, dia sedang apa ya?
Apa dia baik-baik saja? Apa dia sudah makan? Apa dia tumbuh dengan sangat
cantik? Apa dia masih hidup?” tanya Bu
Rosa pada suaminya.
“Sudahlah Mah, anak kita pasti
ketemu! Sebenarnya… Papah sudah dapat kabar
kalau anak kita ada di sebuah panti asuhan.
Nama panti asuhan itu ‘Panti Asuhan Kasih’. Tapi setelah Papah ke sana,
panti itu sudah tidak ada. Kata penduduk di sana panti itu kebakaran.”
“Apa Pah? Gimana dengan anak kita?” tanya
Bu Rosa syok.
“Mamah tenang dulu, jangan panik! Papah mendapatkan kabar jika semua yang ada di panti itu
selamat. Karena saat itu mereka semua sedang berlibur, mungkin karena ada salah satu pengurus yang
lupa mematikan kompor akhirnya
terjadi kebakaran. Mereka semua sudah pindah,
Papah sedang mencari
ke mana mereka pindah. Tapi masyarakat di sana tidak ada yang tahu
mereka pindah ke mana.”
“Syukurlah,” ujar Bu Rosa lega.
“Sudah Mamah tidurlah!”
Sedangkan di tempat lain di panti
asuhan pada waktu yang sama, ada dua orang anak perempuan sedang tiduran di
ranjang yang berbeda. “Kamu
belum tidur?” tanya seorang anak pada anak lainnya.
“Belum, aku sedang melanjutkan bacaanku,” jawabnya.
“Dua minggu lagi kita ulang
tahun, kamu ingin kado apa?.”
“Aku inginnn...
TIDUR ngantuk.”
“Yaaah kamu! Iya sih, aku juga sudah
ngantuk. Tapi Dah, tadi Bunda berkata sesuatu yang menyejukanku. Dia bilang, ‘Tuhan
itu selalu bersama kita. Semua yang terjadi itu mungkin sudah rencana
tuhan, dan rencana tuhan itu selalu
indah.’ Selamat tidur Dah!”
Lalu
mereka saling membelakangi, mengahadap ding-ding. Bukannya tidur, mereka malah
melamun, lalu mereka pun mencoba untuk memejamkan mata mereka. Mencoba tidur
dan melupakan semua hal yang pernah terjadi.
Dua minggu kemudian akhirnya Bu Rosa dan
Pak Adam, mendapatkan petunjuk bahwa anak mereka berada di sebuah panti asuhan. Mereka pun bergegas ke sana. Panti asuhan KASIH namanya, panti asuhan itu berada di atas bukit. Saat itu dua
orang anak perempuan sedang bermain ayunan di halaman belakang panti. Ada pohon besar yang rindang di atas dua ayunan yang
diduduki kedua anak perempuan itu. Ayunan yang menghadap ke bukit lainnya didepannya,
dan dipisahkan oleh jurang yang di batasi pagar bambu berwarna putih. Halaman
belakang yang begitu sejuk dan menenangkan hati. Di tambah aroma-aroma bunga
yang semerbak menghanyutkan lamunan. Mereka tersenyum menikmati setiap hembusan
angin yang menerpa setiap helai rambut mereka.
“Indah,
saat kemarin kita ulang tahun kamu meminta apa waktu berdoa?” tanya seorang gadis kecil bernama Cinta. Indah hanya
diam dan menghela nafas (sambil mengingat pesta kecil dua minggu yang lalu), lalu melihat teman yang berada disampingnya itu.
“Kalau aku
sih, hanya ingin bertemu dengan orang tua kandungku saja. Dan jika aku diberi kesempatan oleh Allah,
aku mau melakukan yang terbaik untuk mereka supaya mereka tidak membuangku lagi
(lalu melamun),” kata Cinta.
“Bodoh! dengan
mereka membuangmu, berarti mereka
tidak menginginkan kehadiranmu lagi. Kamu tahu yang aku harapkan waktu itu,
cuma… punya orang tua angkat yang kaya dan sayang sama aku,” kata Indah sambil melihat
lagi teman yang disebelahnya.
Bu Rosa dan Pak Adam sampai di panti
asuhan. Di sana mereka bertemu dengan pengurus panti bernama Bunda Nia. Bu Rosa
dan Pak Adam pun menceritakan maksud dan tujuan mereka. Mereka datang kesitu
untuk bertemu anak mereka yang berada di panti ini, sekaligus ingin mengangkat
anak lain untuk mejadi saudara angkat anaknya. Bunda Nia pun mengerti, dan menjelaskan kejadian sepuluh tahun yang
lalu yang sangat ia ingat.
“Sepuluh tahun yang lalu tepat di hari yang sama, malam itu saya mendengar tangisan bayi di halaman panti. Setelah saya
cari-cari sumber tangisan itu bersama pengurus yang lain. Saya menemukan bayi, saya pun mengambil bayi tersebut. Namun suara
tangisan itu masih ada padahal bayi yang saya gendong sudah tidak menangis.
Ternyata pengurus yang lain menemukan bayi juga tak jauh dari situ (sambil
mengingat kisah sepuluh tahun yang lalu). Keduanya
adalah bayi perempan. Kami memberi nama mereka ‘Indah dan Cinta’. Setelah beberapa bulan kemudian ternyata kami
tahu bahwa Indah mempunyai penyakit tumor. Tak lama, Dokter pun mendiagnosa
yang sama pada Cinta, keduanya ternyata mempunyai penyakit yang serius di bagian
kepala,” kata Bunda Nia, “Begini Bu saat usia Indah sekitar satu tahun Indah
telah dioperasi untuk pengangkatan tumornya. Dokter
mengatakan bahwa Indah sudah sembuh. Begitu pun dengan
Cinta pada saat berusia tiga tahun Dokter pun mengatakan yang sama. Namun,
setahun belakangan ini Cinta sering sakit. Dokter
bilang itu hanya sakit kepala biasa,”
tambahnya.
“Mereka juga merupakan anak-anak yang
pintar. Indah selalu peringkat pertama dan Cinta peringkat duanya saat
di sekolah,” tambah salah satu pengurus.
“Pah,
berarti Indah adalah anak kita. Papah ingat Dokter itu bilang kalo
kemungkinan anak kita sakit tumor otak dan masih bisa disembuhkan lewat jalan
oprasi. Iyakan Pah?”
“Jangan
tergesah-gesah seperti itu, kita harus melakukan tes DNA dulu Bu…,” timbal
Bunda Nia kaget.
“Oh ya, ibu punya foto anak kami waktu bayi?
Kebetulan saat itu kami belum sempat di foto karena kesibukan kami di tempat
kerja,” kata Bu Rosa.
“Lima tahun yang lalu panti kami
kebakaran dan semuanya terbakar. Yang tersisa hanyalah pakaian yang kami kenakan.
Lalu kami pindah ke sini.”
“Iya Bu, kami
sudah tahu tentang kebakaran itu,” kata
Bu Rosa.
Bunda Nia pun menyuruh salah satu
pengurus panti untuk memanggil Indah dan
Cinta. Indah dan Cinta yang saat itu bermain ayunan di taman belakang panti pun
terkejut dengan panggilan salah satu pengurus panti.
“Indah-Cinta kalian dipanggil sama Bunda
Nia.”
“Ada apa ya Bunda?” tanya Indah.
“Lihat saja nanti di sana.”
“Ada apa ya (sambil melihat Cinta dan
saling bertatapan)? Ah, apa mungkin ada
yang mau mengadopsi anak lagi?” gumam
Indah dalam hati.
“Ayo kita pergi!” ajak Cinta pada Indah.
“Indah-Cinta ayo duduk sini!” kata Bunda
Nia.
Bunda Nia pun menjelaskannya kepada
mereka. Maksud ke datangan Bu Rosa dan Pak Adam datang ke sini. Cinta sangat
senang mendengarnya,
Cinta senang bisa bertemu dengan orang tua kandungnya. Sedangkan Indah
awalnya sangat terkejut, apa mungkin
orang tua kandungnya sangat kaya? Tapi Indah kemudian tersenyum karena ternyata
orang tuanya itu orang kaya. Namun tiba-tiba...
“Indah
anakku ini Mamah nak, dan ini Papahmu.
Kemari nak peluk Mamah,” kata Bu Rosa yang tidak bisa menahan
dirinya, sambil menyuruh Indah duduk disampingnya lalu membelai rambutnya. Indah pun makin terkejut dengan
perlakuan Bu Rosa terhadapnya. Tapi Cinta yang melihat hal tersebut hanya bisa diam.
“Jadi, mereka orang tua Indah, aku kira mereka orang tua kandungku, tidak! aku
tidak boleh sedih.
Aku harus bahagia karena saudaraku bisa
bertemu dengan orang tua kandungnya,” gumam Cinta dalam hati.
“Maaf Bu jangan seperti itu karena...,” kata Bunda Nia terpotong.
“Oh iya,
seperti yang kami bilang kami akan mengangkat satu anak untuk menemani
anak kami. Kami akan mengangkat Cinta juga sebagai anak kami Bu,” Pak Adam memotong.
Indah dan Cinta terkejut mendengar
semua itu.
“Ternyata aku benar-benar anak
mereka,” gumam Indah dalam hati.
“Jika orang tua Indah
mencarinya, lalu di mana ayah dan ibuku?
Aku selama ini menunggu mereka. Ah.. merekakan membuangku! Jadi, untuk apa mereka mencariku lagi. Lagi
pula, sekarang aku akan diangkat anak oleh mereka, dan aku bisa terus bersama dengan Indah. Yang
sudah kuanggap saudaraku sendiri,” gumam Cinta dalam hati.
“Baiklah
Bu tapi prosedur harus tetap dilakukan Ibu
dan Bapak harus mengisi berkas-berkas
dulu. Ibu dan Bapak,
serta Indah dan Cinta tetap harus menjalankani tes DNA,” kata Bunda Nia.
Mereka
pun melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan. Namun hasil leb tes DNA belum
selesai, dan akan selesai beberapa hari
lagi. Bu Rosa dan Pak Adam pun menyuruh Bunda Nia untuk mengirimkannya ke rumah
saja lewat pos. Karena mereka harus plang sekarang masih banyak pekerjaan yang
menunggu mereka di sana. Apa lagi Butuh satu hari perjalanan darat untuk sampai
rumah karena lokasi panti yang sangat terpencil ini! Bu Rosa dan Pak Adam pun
pulang dan membawa serta Indah dan Cinta.
Diperjalanan
pulang Bu Rosa sudah memperlakukan Indah, seperti anak sendiri. Cinta dan Pak
Adam duduk di depan sedangkan Bu Rosa dan Indah duduk di belakng.
“Sayang maafkan Mamah
ya, apa kamu sehat (sambil
mengelus-ngelus rambut Indah)? Maafkan Mamah tidak bisa bisa selalu
membelaimu, menjagamu. Tidak bisa
melihatmu waktu kamu pertama kali bisa bicara,
bisa merangkak dan berjalan. Maafkan Mamah atas semua waktu yang kamu
lalui tanpa kami. Atas semua kesulitan dan air mata
kamu.”
Cinta termenung
mendengar ucapan Bu Rosa pada Indah,
tanpa ia sadari air mata menetes dipipinya. Cinta pun mengusapnya dan
heran.
“Tidak
apa-apa Mah,” kata Indah.
Bu
Rosa terkejut mendengar ucapan Indah, lalu memeluknya karena senang.
“Sayang itu
rumah kita,”
sambil menunjuk salah satu rumah di kompleks itu.
Indah dan Cinta
terheran-heran melihat rumah itu.
“Waw gede banget,” kata Indah.
“Iyah,” tambah Cinta.
Pak Adam dan Bu
Rosa hanya tersenyum mendengar perkataan mereka.
Gerbang pun dibuka
oleh salah satu penjaga rumah.
“Selamat datang
Bu-Pak,” kata Pak Santo penjaga di sana, sambil membuka gerbang kemudian
membukakan pintu mobil.
“Ayo masuk,” ajak Pak Adam.
Begitu sesampainya di rumah,
Indah disambut dengan penuh kemeriahan oleh para asisten rumah tangga. Saat
mereka masuk para asisten rumah tangga itu membungkuk hormat, menyambut mereka.
Kemudian Bu Rosa menunjukan kamar Indah yang sudah ia siapkan sebelumnya untuk
menyambut kedatangan anaknya itu.
“Permisi Bu,
barang-barangnya mau ditaruh di mana?” kata mbak Sari
(pembantu di rumah itu).
“Oh iya, kamu
simpan di situ saja. Sari kamu antarkan Cinta ke kamarnya ya!” kata Bu Rosa.
“Baik Bu, ayo Non Cinta!”
Cinta pun diantarkan
Mbak Sari ke kamarnya, Cinta pun langsung
membereskan barang-barangnya. Setelah selesai, Cinta berpikir untuk melihat isi
rumah. Cinta berjalan dan melihat setiap ruang di rumah itu.
Lalu Cinta terhenti di depan kamar Indah. Dia melihat Indah sedang bersendau
gurau dengan Bu Rosa. Sesekali Bu Rosa bertanya kehidupan di panti sambil
mengelus-ngelus rambut Indah.
“Aku ingin merasakan belaian seorang Ibu, di mana orang tua kandungku?
Aku selalu berharap setiap pintu panti yang terbuka adalah orang
tua kandungku yang mencariku,” gumam Cinta dalam hati.
Cinta pun mencoba
menenangkan perasaannya dengan pergi ke balkon. Di sana, dia melihat
pemandangan sekitar sambil sesekali menghela nafas mengingat pertanyaannya
barusan.
Di atas balkon itu
dia melihat anak laki-laki yang seumuran dengannya sedang melamun di atas
balkon rumahnya. Terlihat pembantunya sedang membawa barang-barang, seperti
koper. Tak lama Ayahnya menghampirinya. Lelaki itu menepuk-nepuk
pundak anaknya dan mengajaknya pergi.
Sedangkan Cinta
masih terpaku pada anak lelaki itu. Cinta menatap matanya dan mencoba
mengartikannya. Terlihat pancaran kesedihan dan seperti enggan meninggalkan
tempat itu. Anak lelaki itu pun melihat ke arah
Cinta dan melihat tatapan Cinta ke padanya sembari pergi meninggalkan balkon.
Saat
malam hari Bu Rosa tidur di kamar Indah. Dia bercerita bahwa ulang tahun Indah
adalah satu bulan yang lalu. “Anggap
saja semua barang-barang ini adalah kado ulang tahunmu, karena kami tidak bisa
merayakan setiap ulang tahunmu dan tidak berada disampingmu selama ini,” kata
Bu Rosa pada Indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar