Rabu, 18 Januari 2017

HOPE IS A MAGIC - (Dwi)

Dwi

            Dwi gadis belia yang baru menginjak bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), usianya baru menginjak lima belas tahun. Suatu malam, dia bertemu dengan seorang pria yang terkena luka tembak dikakinya. Dwi gadis luguh itu, menolongnya tanpa pikir panjang, atau merasa takut sama sekali. Pria yang tertembak dikakinya itu bernama Faldo.
Gadis itu tidak tahu jika Faldo, adalah orang yang selama ini ingin mencelakai ayahnya sendiri. Dulu, Faldo mempunyai keluarga yang lengkap ayah, ibu yang sangat menyayanginya. Serta adik perempuan yang hanya berpaut dua tahun darinya yang begitu perhatian padanya. Hingga suatu malam seluruh keluarganya dibantai, oleh orang yang sedang mengincar tanah milik keluarga Faldo. Saat itu ayah dan ibunya Faldo tidak ingin menjual tanah peninggalan kelurganya, kepada Pak Surya yang sedang berencana membuka hotel baru. Dari situlah Faldo datang pada Mr.Gabriel, musuh dari Pak Surya. Untuk bekerja sama menghancurkan Pak Surya ayahnya Dwi.

            Malam itu, Faldo yang sedang berusaha menghindar dari kejaran polisi dengan luka tembak dikakinya. Lalu kemudian Faldo menabrak Dwi, hingga membuat Dwi terjatuh dan berteriak. Faldo pun segera menutup mulut Dwi dengan tangannya, dan membawanya bersembunyi dari kejaran polisi yang mendengar suara teriakan Dwi. Dwi diam tak berkutik melihat mata Faldo, hatinya berdegup kencang tak karuan. Setelah polisi pergi, Faldo pun melepaskan tangannya dari mulut Dwi.
            “Pergilah!,” kata Faldo sambil mengambil pisau dari sakunya.
Dwi pun pergi dari sana. Tapi Faldo yang mengeluarkan pisaunya, langsung menusukan  pisaunya dikakinya dengan sedikit berteriak karena menahan sakit. Faldo pun mengeluarkan peluru yang bersarang dikakinya itu dengan pisau, dan merobekan bajunya. Kemudian robekan baju itu, ia jadikan perban untuk menghentikan pendarahan dikakinya.
            “Anda tidak kenapa-kenapa? Kaki anda terluka, saya bawa ke rumah sakit yah?,” kata Dwi yang datang menghampiri Faldo lagi.
            “Tidak usah. Pergilah!,” kata Faldo.
            “Tapi…,” kata Dwi.
            “Pergi!,” kata Faldo dengan nada marah.
           
Suatu hari Dwi pergi ke panti jompo, di mana dulu neneknya suka membawanya main ke sana. Dwi tak punya ibu, ibunya meninggal setelah dia dilahirkan. Selama masa kecilnya, ia dibesarkan oleh neneknya. Neneknya sering membawa Dwi ke panti jompo, untuk menemui salah satu sahabat neneknya di sana.
            “Oma Ani di mana yah, Bu?,” tanya Dwi pada seorang pengurus panti.
            “Oh, Bu Ani yang suka menyulam itu yah?,” tegas pengurus panti itu.
            “Iya Bu.”
            “Beliau sudah meninggal sekitar lima bulan yang lalu dik.”
            “Apa?”
            “Iya, beliau meninggal karena sakit keras dik.”
            “Oh, trimakasih Bu,  kata Dwi sambil berlalu pergi.

            “Oma, sekarang Oma di sana sudah punya temankan? Semua orang meninggalkanku. Aku punya papah, tapi serasa tidak punya papah. Dia terlalu sibuk dengan kekuasaannya,” gumam Dwi.
Saat Dwi hendak keluar dari panti, Dwi melihat Faldo sedang membagikan makanan pada para nenek dan kakek yang ada di sana. Setelah Faldo selesai membagikan makanan kepada para nenek dan kakek di panti jompo itu, dia pun langsung beranjak pergi. Dari belakang Dwi pun membuntutinya, Dwi melihat Faldo membagikan makanan geratis juga pada para pemulung dan pengamen di jalan.
            “Pria itu baik juga, di dunia ini ternyata masih ada orang-orang yang peduli pada orang lain. Beruntung banget yang jadi pacar dia, dapat pria yang begitu baik. Andai saja aku jadi wanitanya, aku pasti akan diperhatikan terus. Dan aku gak bakalan kesepian lagi, gumam Dwi.
Sejak saat itu, Dwi sering sekali pergi ke panti jompo untuk bertemu dengan Faldo. Dwi pun mencoba untuk berkenalan dengan Faldo, tapi tak berhasil. Lama kelamaan Dwi bukan hanya ingin berkenalan dengan Faldo, tapi juga ingin mengenalnya.
            “Anda ingat tidak malam itu kaki anda terluka?,” tanya Dwi pada Faldo.
Namun Faldo tak bergeming sepatah kata pun. Begitu pun Dwi dia malah semakin berusaha keras menempel di sisi Faldo, dan mengikutinya ke mana pun Faldo pergi. Hingga membuat Faldo kesal padanya.
            Hingga pada suatu hari, Faldo marah sekali pada Dwi. Karean saat itu Dwi mengajak salah satu kakek bermain keluar panti, dan membuat si kakek terluka karena terjatuh. Sehingga si kakek harus dirawat di rumah sakit. Dwi merasa bersalah, tapi Faldo malah terus memerahi Dwi dan menyuruhnya untuk tidak pernah datang lagi ke sana. Setelah kejadian itu, Dwi tidak datang ke sana lagi. Ada perasaan rindu yang menggejolak di hati Dwi, dia ingin sekali bertemu dengan Faldo.
            “Apa aku benar-benar jatuh cinta pada cowok itu? Dia emang baik, tapi lihat tampilannya dia begitu acak-acakan,” gumam Dwi dikamarnya.
Faldo merasa ada yang hilang pada hari-harinya, tak ada gadis cerewet yang selalu membututinya kemana-mana lagi sekarang. “Kamu sedang apa?,” tanya Mr.Gabriel mengagetkan. Faldo hanya menggeleng. “Kamu kenal Dwi?,” tanya Mr.Gabriel. Faldo hanya melihat mata Mr.Gabriel seakan bertanya, kenapa Mr.Gabriel mengenal Dwi.
            “Dia itu anak satu-satunya Surya,” kata Mr.Gabriel.
            “Apa?,” tanya Faldo kaget.
            “Selama ini aku menyuruhmu untuk tidak tinggal di negara ini, karena aku punya rencana agar kamu mendekati anaknya Surya suatu saat nanti. Mungkin ini yang namanya takdir, aku tak harus susah-susah membuat rencana mendekatkan kalian. Tapi takdir yang mempertemukan kalian dengan sendirinya. Ini uang ambil, kamu ubah gayamu yang berantakan dan cukur kumismu itu! Buat dia jatuh cinta kepadamu, lalu kamu hancurkan perasaannya sehancur-hancurnya!,” kata Mr.Gabriel.
            “Aku tidak mau,” jawab Faldo.
            “Ayolah! Aku tahu kamu suka berbuat baik, dengan sok-sokan jadi dermawan. Tapi bagaimana pun, kamu itu tetaplah seorang pembunuh. Sudah banyak nyawa kamu bunuh, apa kamu masih mau sok alim?,” tanya Mr.Gabriel.

            Pak Surya terus mendapatkan terror dari Faldo, sampai akhirnya dia masuk rumah sakit. Sedangkan Dwi semakin dekat saja dengan Faldo. Semuanya berjalan begitu saja, seperti air mengalir. Faldo tetap menjadi dirinya yang cuek, dengan gayanya. Dia tidak mengubah penampilannya agar Dwi jatuh cinta kepadanya. Karena dia tahu Dwi yang lebih pantas menjadi adiknya ini, menyukainya karena dia yang apa adanya.
***
            “Aku dengar kamu malah menghindari Dwi? Apa kamu sudah melupakan rencanamu untuk menghancurkan mereka?,” tanya Mr.Gabriel sambil memegang pundak Faldo.
            “Tidak, hanya saja…,” kata Faldo tak meneruskan ucapannya.
            “Hanya saja apa? Kamu mulai lemah atau kamu malah jatuh cinta, pada anak yang telah membunuh keluargamu?,” kata Mr.Gabriel.
            “Dia itu tak bersalah, dia gadis yang baik hati,” kata Faldo.
            “Kamu jatuh cinta padanya Faldo? Lupakan saja kematian keluargamu, yang dibantai empat belas tahun yang lalu. Dan pacari saja anak si Surya itu!,” sindir Mr.Gabriel.
            “Aku hanya ingat pada adikku, aku tidak akan melupakan kematian keluargaku. Justru itu aku menghindarinya, agar membuatnya merasa kehilanganku. Dengan begitu, aku yakin dia sendiri yang akan datang menemuiku, karena rindu padaku,” kata Faldo.
“Pria nakal. Jika itu terjadi, berarti dia benar-benar jatuh cinta kepadamu,” kata Mr.Gabriel.
            “Yah, aku ingin lihat bagaimana si Surya kalang kabut. Melihat anak semata wayangnya berada digenggamanku,” kata Faldo.
            “Kamu memang anak buahku, yang paling bisa kuandalkan,” kata Mr.Gabriel sambil berlalu pergi.
            “Maafkan aku Dwi! Mungkin kamu melihatku seperti orang baik, andai kamu tahu betapa jahatnya aku,” gumam Faldo.
            Faldo dan Dwi pun semakin dekat, hati Faldo semakin luluh oleh kesabaran Dwi. Namun Mr.Gabriel terus menekan Faldo untuk menghancurkan Dwi dan Pak Surya. Faldo bingung hatinya serasa berperang hebat, antara harus menghancurkan hatinya Dwi yang ia mulai merasa menyukainya, atau tidak melakukannya tapi dia terus ingat kematian keluarganya.
Akhirnya Faldo pun membuat Pak Surya celaka lagi. Sehingga semuanya terbongkar, sekarang Dwi tahu kalo yang selama ini mencelakai ayahnya adalah Faldo. Begitu pun dengan Pak Surya, dia baru tahu ternyata selama ini putrinya dekat dengan Faldo, anak buahnya Mr.Gabriel musuhnya sendiri.
Dwi merasa marah pada Faldo, ternyata laki-laki yang ia kagumi selama ini, adalah orang yang mencelakai ayahnya sendiri. Tanpa pikir panjang Dwi pun datang menemui Faldo, yang saat itu berada di klub malam.
“Aku benci sama kamu,” bentak Dwi sambil menyiramkan minuman ke muka Faldo.
Entah kenapa hati Faldo sangat sakit sekali, rasanya ribuan pedang sedang menancap dihatinya.
***
Hari telah berlalu, akal sehat Dwi benar-benar membuatnya yakin, jika Faldo yang ia kenal adalah Faldo yang baik hati dan apa adanya. Tanpa sepengetahuan Pak Surya, Dwi datang pada Faldo. Dia bilang jika dia menyukainya, Faldo yang mendengar itu tak bisa berkata-kata.
Akhirnya mereka berhubungan lagi, tanpa sepengetahuan Pak Surya dan bossnya Faldo, Mr.Gabriel.
            Namun Mr.Gabriel bukanlah orang yang mudah untuk dibohongi. Dia tahu, kalo Faldo benar-benar sudah membuat Dwi jatuh kepelukannya. Dan dia yakin, jika Faldo menghancurkan hatinya Dwi, maka Dwi akan benar-benar merasa hancur sekali. Mr.Gabriel pun menyuruh Faldo untuk melakukan rencananya yang telah ia siapkan selama ini. Namun Faldo tidak melakukannya karena dia benar-benar jatuh cinta pada Dwi.
            “Maafkan aku Mah-Pah. Aku benar-benar menyukainya, aku tidak bisa membalaskan dendam ini. Dia itu tidak bersalah, tapi ayahnyalah yang bersalah,” gumam Faldo dalam hati.
            Mr.Gabriel yang mengetahui hati Faldo yang mulai lemah, dia pun menyuruh anak buahnya yang lain untuk mencelakai Dwi. Mendengar itu Faldo pun menjauhi Dwi agar tak membuat Dwi celaka. Dwi heran kenapa dia begitu sulit menemui Faldo dan setiap bertemu, Faldo selalu marah-marah padanya. Dwi yakin, ada yang sedang Faldo sembunyikan darinya. Dwi pun mencari tahu di mana Faldo tinggal dan mendatangi rumahnya. Namun apa yang Dwi lihat, dia melihat Faldo sedang berduaan di dalam kamar dengan seorang perempuan. Betapa terkejutnya Dwi melihat itu semua.
            “Siapa dia?,” tanya Dwi pada Faldo.
            “Wanitaku,” jawab Faldo.
            “Aku tidak percaya!,” kata Dwi.
            “Sebaiknya kamu pergi dari sini, jika kamu tidak ingin celaka. Kamu tahu, mana mungkin aku menyukai anak kecil seperti kamu? Kamu itu begitu polos dan bodoh,” kata Faldo.
            “Apa selama ini kamu hanya pura-pura menyukaiku?,” tanya Dwi. Faldo hanya tersenyum, Dwi yang melihat itu langsung pergi sambil menangis.
            “Tugasmu sudah selesai, kamu boleh pergi!,” kata Faldo sambil beranjak dari tempat tidurnya dan melemparkan amplop berisi uang pada wanita yang bersamanya itu.

            Dwi menangis tanpa henti, hatinya terasa sakit sekali. Pak Surya yang melihat anaknya mengurung diri bertanya-tanya. Dwi pun menceritakan semuanya, betapa marahnya Pak Surya mendengar itu semua. Pak Surya pun menghubungi Mr.Gabriel, dan mengajaknya untuk bertemu. Namun Mr.Gabriel menolak ajakan Pak Surya tersebut.
            Hingga selang beberapa hari Dwi diculik oleh Mr.Gabriel, tanpa sepengetahuan Faldo. Mr.Gabriel meminta Pak Surya untuk menyerahkan seluruh asset dan sahamnya untuk ditukar dengan nyawa Dwi. Faldo yang baru datang untuk menemui bossnya itu, mendengar percakapan bossnya dengan Pak Surya ditelepon. Dia begitu marah mendengar semua itu, dan ternyata di sana ada Dwi yang sedang diikat di tiang.
            “Dasar gadis bodoh, betapa bodohnya kalian. Kamu tahu Dwi ibumu mati ditanganku, karena dia lebih memilih ayahmu yang jelas-jelas tidak mencintainya. Dan semua keluarga pacarmu si Faldo itu, akulah yang membunuhnya juga. Dengan bodohnya si Faldo datang kepadaku, untuk membalas kematian keluarganya, dia menyangka ayahmulah yang membunuh keluarganya.
Kamu tahu, sudah berapa banyak orang yang ia bunuh untukku? Pacarmu itu seorang pembunuh handal, dia membunuh orang-orang yang tidak kusuka. Sebagai permulaan, untuk membunuh musuh besarku ya itu ayahmu,” kata Mr.Gabriel.
            Tambah marahlah Faldo mendengar itu semua, ternyata orang yang selama ini seharusnya ia benci adalah bossnya sendiri. Betapa marahnya dia pada dirinya sendiri, apa bedanya dia dengan bossnya Mr.Gabriel, karena dia juga membunuh banyak orang tak berdosa.
            Tak lama Pak Surya pun datang bersama para pengawalnya. Mr.Gabriel pun keluar untuk menemui Pak Surya. Faldo yang melihat kesempatan itu langsung menghampiri Dwi untuk membukakan ikatan tangannya Dwi dan membawanya keluar.
            Saat Faldo membawa Dwi keluar, Mr.Gabriel yang melihatnya begitu marah. Mr.Gabriel langsung mengarahkan pistolnya kearah Dwi. Faldo yang melihat itu langsung mengarahkan pistolnya juga ke arah Mr.Gabriel dan langsung melesatkan pelurunya.
Saat itu Mr.Gabriel yang terkena tembak langsung jatuh ke tanah. Dari situ terjadilah tembak menembak dan perkelahian diantara para pengawal Pak Surya dan anak buahnya Mr.Gabriel.
            Pak Surya tidak tinggal diam dia juga mengarahkan pistolnya ke arah Faldo dan mencoba untuk menembak Faldo. Namun yang terjadi, Dwi malah menghalangi Faldo, dan Dwilah akhirnya yang terkena tembak. Di belakang Pak Surya, ada Mr.Gabriel yang masih setenga tersadar dia pun langsung menembak Pak Surya tanpa henti. Faldo yang melihatnya menembakkan pistolnya lagi ke Mr.Gabriel.
            Saat itu semuanya hening, hanya Faldo yang selamat dan beberapa pengawal Pak Surya. Dwi yang masih tersadar, mengucapkan kata-kata terakhirnya. “Faldo, aku minta satu hal padamu, jangan pernah menyalahkan dirimu atas semuanya. Aku harap kau akan terus bahagia, teruslah hidup untukku! Aku akan menunggumu di surga, Faldo,” kata Dwi sambil menahan rasa sakit, sebelum ia menutup kedua matanya
***
            “Dwi, dulu di dalam hatiku sesungguhnya aku ingin sekali mem-perlakukanmu dengan baik. Tapi sekarang aku malah bersyukur aku tidak memperlakukanmu dengan baik. Yang aku sesali malah, aku tidak bisa melindungimu dengan baik.”
-Faldo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar