Pagi
hari yang cerah, seorang lelaki membuka pintu sangkar burungnya. Burung itu pun
terbang lepas ke angkasa, menjelajahi awan dan hinggap tepat di puncak pohon.
Lelaki itu pun kembali masuk ke dalam rumah, mencoba menjalani dan menata
hidupnya kembali.
Namaku
Pakur, aku pembunuh, aku pemalak, penjudi, dan pemabuk. Semua hal yang kulakukan
adalah hal yang paling tuhan benci umatnya lakukan. Semua orang menakutiku, dan
setiap aku bertemu dengan mereka,
maka mereka tersenyum penuh paksaan serta menunduk penuh kebencian.
Orang-orang
menjulukiku si jagal! Aku menjagal apa saja yang tak ingin kulihat hidup. Aku tak pernah
bermimpi akan menjadi
seperti ini, apa lagi bercita-cita menjadi diriku yang sekarang. Aku benci
pernikahan, bagiku tak ada
yang namanya cinta. Munafik bagi orang yang bilang itu ada.
Cinta?
Cinta macam apa yang kalian maksud? Cinta yang murnikah atau jujur? Yang ada
hanya perselingkuhan, munafik jika mata-mata kalian tak tertarik pada yang
lebih dari apa yang kalian punya.
Cinta yang tulus atau setia? Yang ada
cinta karena uang, munafik jika kalian bisa tulus dan setia tanpa uang untuk
kalian menyambung hidup.
Cinta apa yang kalian maksud? Cinta
sejati? Apa ada cinta sejati diantara sesama manusia di dunia ini? Yang ada hanya arti sebuah
kebutuhan yang mengatas namakan cinta.
Orang tuaku bercerai dan mereka membuangku sendirian.
Aku besar dijalanan, tanpa kasih dan petuah. Tahukah kalian betapa
mengerikannya jalanan? Bahkan mungkin kalian tidak akan mampu membayangkannya.
Jika kalian pikir setan yang tak terlihat itulah yang paling mengerikan, kalian
salah. Setan yang paling mengerikan adalah setan berwujud manusia, dengan
senyum malaikat dipipinya.
Manusia akan tumbuh dengan apa yang
ia lihat, ia dengar, ia rasakan, dan ia jalani. Begitulah aku, para setan
itulah yang membuatku menjadi setan bahkan monster. Mereka bilang kenapa aku
bisa menjadi seperti inih? Apa aku menginginkannya? Tak ada yang memeluk anak
kecil itu saat ia ketakutan. Tak ada yang menenagkannya saat dia menangis. Dia
kehujanan, kelaparan, kedinginan, setan-setan itulah yang menjaganya. Dan
memberikan semua yang ia butuhkan dan inginkan, namun apakah di dunia ini ada
yang geratis? Kau pikir saja sendiri.
***
“Kamu itu istri macam apa? Pagi-pagi
bukannya nyiapin sarapan, malah sibuk ngurusin diri sendiri. Kamu lihat anak
kamu, gak ke urus,” kata Pak Mandra.
Pakur yang saat itu masih berusia delapan tahun, begitu pasrah melihat
orang tuanya yang setiap hari bertengkar. Dia pun pergi ke sekolah tanpa pamit,
dan langsung beranjak pergi.
“Ngurusin diri sendiri? Aku minta
cerai sekarang juga, kamu pikir dong pakai otak. Kamu masih bisa makan dari
mana kalo aku gak kerja?,” kata Bu Lilis.
“Aku juga lagi cari kerja yah!
Jangan mentang-mentang udah sebulan ini kamu yang cari uang, kamu jadi bisa
seenaknya. Kamu pikir aku bakal tahan punya istri kaya kamu yang diotaknya cuma
duit dan duit. Kamu mau cerai? Oke kita cerai, aku langsung talak tiga kamu,”
kata Pak Mandra.
“Oke, aku pergi!,” kata Bu Lilis
yang sudah siap dengan kopernya.
‘Oh, jadi kamu sudah mempersiapkan
kopermu juga? Gak usah sok nyalahin orang kalo kamu mau pergi. Pergi sanah!,”
kata Pak Mandra marah.
Saat pulang sekolah Pakur sebenarnya
malas sekali pulang ke rumah, toh di rumah juga tidak ada siapa-siapa. Dia
makan apapun yang ada di dalam kulkas, namun kepulangannya saat itu ke rumah
benar-benar berbeda. Setelah beberapa hari setelah kejadian itu, Pakur
benar-benar kelaparan karena sudah tak ada makanan lagi di dalam kulkasnya.
Setelah kejadian itu, orang tuanya me-ninggalkan dia dan tak pernah kembali.
Meninggalkan Pakur kecil sendirian.
Pakur yang kelaparan mendengar suara
ketukan pintu, Pakur yang membuka pintu depan rumahnya. Melihat seorang ibu
dengan
menggendong anaknya yang
masih balita, menanyakan orang tuanya untuk segera membayar kontrakan. Karena
sudah dua bulan belum dibayar, Pakur kecil diusir tanpa tahu harus pergi ke
mana.
Jalananlah lingkungan baru bagi
Pakur, membentuk karakter dan sejarah hidupnya pun dibuat di sana. Banyak ilmu
yang ia dapat mulai dari nyopet, mencuri, maling, malak, dan masih banyak lagi
hal yang ia pelajari di sana. Puncaknya berputarnya titik nadir kehidupanku,
saat langkahku menuntunku ke sebuah tempat. Tempat yang belum pernah
kusinggahi, di sana aku melihat aki-aki dan nenek peot yang bertemu dengan
masing-masing membawa keluarga bahagia mereka.
Aku bunuh nenek peot dan aki-aki
itu, teganya mereka mengahdirkanku ke dunia inih. Namun mereka tak mau
menuntunku atau mengenalkanku pada dunia. Aku tak mau mati sebelum amarah dan
benciku bertemu pada yang seharusnya ia tuju. Walau aku ingin mati,
menghilangkan rasa sakit inih. Aku ingin mereka dulu, yang mati merasakan sakit
yang teramat meninggalkan keluarga baru mereka yang bahagia. Baru aku puas,
sepuas-puasnya mengobati hatiku.
Sialnya bukan puas yang kudapat
setelah tangan ini mengambil nafas mereka, hanya kehampaan yang semakin
kurasakan. Nenek peot dan aki-aki itu, ternyata selama ini mencariku tanpa
henti. Dan merindukanku tanpa berhenti sedetik pun. Preman dan pembunuh ini juga tuhan ciptakan
hati di dalam tubuhnya.
***
“Hitam
semua hitam, catatan suram hadir dihidupnya.
Terdapat
tinta-tinta hitam dalam hidupnya.
Perbuatan
keji yang membawanya ke dalam lubang dosa.
Sehingga
dia kesepian.
Duduk
diam di ruang hampa.
Menebus
dosa di dunia.
Kejadian
yang takan hilang dalam benaknya.
Hingga
tinggal sesal.
Menatapi
keadaan dan menerima hidup di dalam sangkar.
Dia
berharap waktu dapat lebih cepat berputar.
Andai
saja, dia berpikir pada waktu supaya tidak cepat berputar, tapi kembali.
Kembali
untuk mengubah segalanya…
Itulah
penyesalan seorang NAPI.”
-Pakur-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar